Dalam postingan sebelumnya sudah saya jelaskan bagaimana seharusnya menjadi seorang Panatacara atau Master of Ceremony. Salah satunya harus mempunyai pengetahuan tentang Pancatama Kawruh Panatacara. Salah satunya adalah Miraga, yaitu memperhatikan terhadap tubuh atau fisiknya dengan cara berpakaian yang rapi. Dalam istilah jawa "Ngadi sarira lan Ngadi Busana.
Seorang panatacara sebisa mungkin diusahakan secara fisik tampil rapi atai istilah kerennya Necis. Penampilan yang bregas itu sudah memiliki daya tarik tersendiri daripada tampil lesu, apalagi ditambah dengan suara yang gandem halus berwibawa, maka semakin simpati orang yang melihatnya. Namun perlu diketahui bahwa karakter suara seseorang itu mempunyai ciri yang berbeda-beda, ada yang tinggi dan ada juga yang rendah. Paling tidak bisa mengatur sesuai dengan karakter masing-masing jika tidak bisa dipaksakan Gandhem.
Kembali ke topik pembicaraan terkait dengan berbusana, jadi dalam upacara resmi seorang panatacara disarankan untuk memakai busana kejawen lengkap., misalnya upacara panggih dan resepsi. Untuk busana kejawen yang tidak lengkap dipakai pada waktu upacara tidak resmi misalnya pada saat upacara siraman atau midadareni. Disini bisa memakai beskap landhung yaitu memakai beskap tanpa keris.
Upacara siraman matau midadareni ini kalau di Pacitan jarang yang dilakukan, atau bahkan sudah tidak ada. Mungkin kalau toh masih ada hanya di daerah daerah tertentu yang adatnya masih kental. Dalam acara tidak resmi tersebut, bisa juga memakai jas atau pakaian yang rapi lainya, yang penting kelihatan baik dan tidak sembarangan memakai busana.
Kanjeng Susuhunan paku Buana pernah memberikan petunjuk tentang berbusana, dengan istilah jawa "Nyandang nganggo iku dadya sarana hamemangun manungsa jaba jero, marmane pantesen penganggonira, trepna kalawan kahananing badanira. Wujud lan warnane jumbuhna kalawan rasa kejawen".
Arti dari petunjuk itu kurang lebihnya seperti ini " Berpakaian itu menjadi sarana membangun manusia lahir batin. Maka sesuaikan pakaian itu, selaras dengan keadaan tubuhmu. Corak dan warnanya serasikan dengan kejawenmu. Artinya dalam berpakaian, seseorang harus bisa menyesuaikan dengan tubuhnya sendiri.
Seorang panatacara sebisa mungkin diusahakan secara fisik tampil rapi atai istilah kerennya Necis. Penampilan yang bregas itu sudah memiliki daya tarik tersendiri daripada tampil lesu, apalagi ditambah dengan suara yang gandem halus berwibawa, maka semakin simpati orang yang melihatnya. Namun perlu diketahui bahwa karakter suara seseorang itu mempunyai ciri yang berbeda-beda, ada yang tinggi dan ada juga yang rendah. Paling tidak bisa mengatur sesuai dengan karakter masing-masing jika tidak bisa dipaksakan Gandhem.
Kembali ke topik pembicaraan terkait dengan berbusana, jadi dalam upacara resmi seorang panatacara disarankan untuk memakai busana kejawen lengkap., misalnya upacara panggih dan resepsi. Untuk busana kejawen yang tidak lengkap dipakai pada waktu upacara tidak resmi misalnya pada saat upacara siraman atau midadareni. Disini bisa memakai beskap landhung yaitu memakai beskap tanpa keris.
Upacara siraman matau midadareni ini kalau di Pacitan jarang yang dilakukan, atau bahkan sudah tidak ada. Mungkin kalau toh masih ada hanya di daerah daerah tertentu yang adatnya masih kental. Dalam acara tidak resmi tersebut, bisa juga memakai jas atau pakaian yang rapi lainya, yang penting kelihatan baik dan tidak sembarangan memakai busana.
Kanjeng Susuhunan paku Buana pernah memberikan petunjuk tentang berbusana, dengan istilah jawa "Nyandang nganggo iku dadya sarana hamemangun manungsa jaba jero, marmane pantesen penganggonira, trepna kalawan kahananing badanira. Wujud lan warnane jumbuhna kalawan rasa kejawen".
Arti dari petunjuk itu kurang lebihnya seperti ini " Berpakaian itu menjadi sarana membangun manusia lahir batin. Maka sesuaikan pakaian itu, selaras dengan keadaan tubuhmu. Corak dan warnanya serasikan dengan kejawenmu. Artinya dalam berpakaian, seseorang harus bisa menyesuaikan dengan tubuhnya sendiri.